SUTRADARA (SEHARUSNYA) BUKAN SEKEDAR NGETEKS DAN mBAGI DAPU’AN

Oleh : IMAM Cb.

Sutradara seharusnya adalah yang bertanggungjawab sepenuhnya atas sukses tidaknya sebuah pertunjukan. Dari persiapan sampai pertunjukan berakhir. Adalah tugas sutradara yang mengkoordinasikan semua sumber daya yang dibutuhkan sebuah pertunjukan/pementasan.
Diantaranya :  1. Menentukan lakon/cerita, kecuali ada permintaan lain,
2. bertanggungjawab menentukan pemain (casting), mbagi dapu’an/peran (utama, pendukung, dan figuran) dengan melalui tahapan (bila dimungkinkan),
a. analisa (naskah) lakon/cerita
b. menentukan karakter peran/tokoh
c. berlatih/melatih pemain
3. bertanggungjawab mengkoordinasikan segala perangkat pendukung pertunjukan/pementasan.
a. unsur suara – selain dialog pemain di pangung. Ilustrasi/iringan, efek suara pendukung (teknis) lainnya.
b. unsur artistik/visual – menentukan setting dan properti panggung, adegan per adegan. Menetukan kostum dan properti pemain, menentukan ake up, menetukan tata cahaya (pangung), pertunjukan, efek pendukung (teknis) visual yang dibutuhkan.

SUTRADARA LUDRUK
Jujur saja, sutradara ludruk sekarang 99 % tidak menjalankan langkah-langkah di atas. Sya berani memastikan bahwa mereka bukan tidak mengerti, tetapi merka abai – kurang bertanggungjawab terhadap profesinya – setengah hati menjalankan tugasnya.
Celakanya hal ini (men)jadi tradisi di kalangan mereka. Maka kalau boleh dibilang ludruk (sekarang) tanpa sutradara. Yang ada hanya tukang ngeteks. Sebutan n(T)iDi pun krang pantas disandang. Kalau pengertian TD adalah Tonil Director yang juga berarti sutradara tonil (drama). Setelah ngeteks/nulis ploting/urutan adegan dan siapa-siapa pemerannya, selesai. Lalu paes/make up sesuai kebutuhan(nya) tidak lagi (merasa) bertanggungjawab dengan apa yang berlangsung di atas pentas. Apalagi kalau tidak terlibat peran/tampil – mereka bisa berangkat tidur, kongkow-kongkow, nongkrong di warung kopi bahkan pergi entah kemana. Ironisnya semangat ini diadopsi hampir semua awak ludruk.
Sudah lazim/biasa awak ludruk berangkat ke tempat pertunjukan belum tahu nani mau jadi apa – bagaimana mereka bisa observasi tentang peran/dapu’annya. Akibatnya pertunjukan menjadi seperti ngglndhung semprong – berlangsung ala kadarnya. Karena sutradaranyapun tidak memiliki pemikiran yang inovatif, membuat terobosan-terobosan untuk memberi nilai lebih pada lakon ‘lawas’ yang akan dipentaskan. Bahkan tanggungjawab, mengawasi/mengontrol, setidaknya agar pertunjukan berlangsung bener – apalagi baik dan lebih baik lagi diangap tidak lagi penting! Tradisi penuangan (pengarahan sutradara kepada pemain dan seluruh SDM pendukung pementasan) juga nyaris tidak lagi pernah dilakukan, kecuali pada event tertentu, ada yang bertanya, pemain baru/tamu.
Semangat SUBLIMATIF suah hilang di hampir semua konco-konco ludruk sekarang. Orientasi karya mereka sebatas kapitalisme yang sempit, tanpa idealisme kreatif sebagai seniman – bisa jadi mereka mandeg hanya sebagai buruh kesenian.

LUDRUK “SEKARANG” LUPA MEMBACA ZAMAN
Kondisi seperti di atas sangat mungkin mewarisi para pendahulu, seperti kita tahu ludruk pernah mengalami ketercerabutan dari masa keemasannya (setelah era 1965) dipaksa melewati masa kegelapan lalu digiring memasuki orde dilarang pinter – kreativitas dibatasi, kesenian hanya boleh jadi hiburan, seniman dikontrol kekuasaan – estetika, hitam-putih, boleh idak, benar dan salah, penguasa yang menentukan.
Di hampir 30 tahun itu seniman (ludruk) banyak yang cari aman, mengabaikan kreativitas (karena kreatif dicurigai) mereka dikondisikan menjadi pupuk bawang jaman. Dikintirkan arus deras industrialisme. Ludruk dijerumuskan jadi skedar hiburan, tidak ada lagi yang lebih berarti dari sekedar ha-ha-hi-hi… (deeer) penonton. Entah karena sudah terlanjur bermental buruh (sing penting bayaran) atau ketakutan/kehati-hatian yang berlebihan. Kesalahan kaedah estetis terkecil sekalipun luput dari koreksi kreatif para praktisi ludruk itu sendiri. Celakanya, kesalahan-kesalahan yang sering terjadi akhirnya dianggap sebagai suatu kewajaran, rutinitas diangap biasa, kemandegan diterima sebagai dinamika. Seperti menarik benang kusut, sedikit saja melenceng (salah) di ujung akan semakin lebar di kemudian dan semakin awur-awuran.
Nah, rutinitas, kemandegan (kreatif) dan awur-awuran ini ang diwarisi oleh ludruk kita sekarang. Belum banyak pelaku ludruk yang menyadari, bahwa sekarang jaman sudah BERUBAH!

MENGAPA PANGGUNG LUDRUK (SEKARANG) DITINGAL PENONTON?
Memang gerojokan acara televisi, gampangnya mendapatkan dan memutar CD dan film menjadi pesaing yang luar biasa. Tapi apakah dengan begitu kita harus berdiam kalah sambil menunggu kebangkrutan? Bukankah stadion pertandingan sepak bola masih dibanjiri penonton, meski tidak gratis. Dan setiap hari ada tayangan langsung maupun tidak langsung pertandingan sepak bola di televisi, kadang malah tidak hanya satu, dua stasiun televisi yang menayangkan pertandingan sepak bola setiap harinya. Begitu pula pangung musik dan film meski tiketnya tidak murah. Bukankah ludruk juga pernah berjaya seperti itu? Ribuan penonton memenuhi tobong, bahkan sampai pertunjukan usai mereka masih berjubel, berharap bisa bertemu, berdekatan, dan ngobrol dengan idola mereka yang baru turun panggung. Ludruk bahkan jadi inspirasi jamannya, jadi sumber ide para pejuang pergerakan. Betapa ludruk pernah sangat disegani secara sosial, budaya maupun politik. Itu ditandai dengan ditangkapnya cak Pono oleh Pemerintah Hindia Belanda di Bondowoso karena mengidungkan semangat akan berdirinya organisasi pemuda pribumi Boedi Oetomo yang sangat diharamkan oleh penjajah Belanda pada waktu itu. Ketika jaman Jepang, Cak Durasim dijebloskan ke penjara karena pasemon kidungnya menyindir penguasa Nippon waktu itu. Betapa ludruk pernah sangat berjaya dan diperbutkan partai politik, karena memiliki potensi massa yang luar biasa. Beberapa ludruk pernah beberapa kali diundang pentas di istana presiden. Mengapa sekarang ludruk tanggapan di pelosok, pinggiran kota dengan penonton gratis saja. Penontonnya bisa diduga – setelah dagelan bubar, penonton ikut bubar, yang tersisa bisa dihitung dengan mata telanjang. Kenapa bisa demikian, padahal James L. Peacock menyebut ludruk sebagai teater rakyat adalah bagian penting dari ritus modernisasi, penanda peradaban modern. Karena ludruk (dulu) tidak sekedar tontonan, tapi juga mampu sebagai panutan jamannya. Bisa jadi inspirasi masyarakat penontonnya. Masyarakat menganggap penting dan merasa memiliki ikatan emosional ang nyaris tanpa sekat, karena esensi ludruk sebagai teater rakyat yang lugas, egaliter, satir tapi segar, blokosuto, nakal tapi aktual, faktual dan menyenangkan. Ludruk mampu mengejawantahkan harapan penontonnya. Ludruk mampu melontarkan apa yang tidak mampu diungkapkan masyarakatnya. Mereka bisa tersindir namun sekaligus nyengir. Begitu seharusnya ludruk menguasai jamannya. Memahami (kebutuhan) masyarakat penontonnya. Bukan Cuma mengulang-ulang yang sudah kadaluwarsa, sekarang bukan jaman Jepang. Kalau toh kita masih merasa terjajah, penjajah kita seharusnya bukan sekutu Belanda, bukan gurkha, bukan kompeni, bukan Jepang. Reformasi sudah belasan tahun, penjajahan bisa datang dari diri sendiri; kemiskinan, kebodohan, dan narkoba.

BEGITUKAH LUDRUK KITA SEKARANG?
SMS-an wis dadi sego jangan, ludruk jik semayan nang nisore ciplukan.
Masyarakat penonton pulang pergi perguruan tinggi, ludruk iik budal nang peguron. Arek-arek wis sobo sekolahan, perpustakaan, ludruk ijik sobo punden.
Arek-arek wis ngomong internet, ludruk ijik ngomong rondho prawan, rabi pegat. Penonton sekarang nyandhak GPS, WiFi, Google, Youtube, Twitter, Facebook, ludurk terus nyandhak wangsit, sikep, piandel, gaman, tumbak, keris, lan sak pitunggalane.
Memprihatinkan, kalau sekarang banyak kalangan muda, jangankan untuk tertarik pada ludruk, sebagian bahkan kenal saja tidak.
Saya pribadi masih sering menghadapi pertanyaan dari anak-anak SMP-SMA bahkan MAHASISWA, ludruk itu apa?
Melihat kenyataan diatas, membuktikan adanya kesenjangan pada stadium akud, antara ludruk dengan masyarakat (penonton). Yang harus segera disadari oleh praktisi ludruk, terutama leadershipnya – sutradara. Harus segera mengambil langkah lebih cepat untuk mengejar, setidaknya mensejajari peradaban masyarakat, yang konon sudah melangkah memasuki postmo…!
Kalau tidak, ini akan membenarkan stigma bahwa kesenian tradisional (ludruk) itu kuno, pinggiran, ndesani, dsb. Kita patut terusik anggapan itu, kita harus bangun dari tidur panjang ini. Kita bangkitkan kembali kreativitas dikalangan praktisi/pelaku ludruk. Budayakan belajar dan diskusi, jangan pernah selesai membaca zaman! Jangan pernah takut berubah, karena hakekatnya kreativitas itu terus berkembang, melangkah kedepan dan berubah menjadi lebih baik.

(disampaikan dalam kegiatan WORKSHOP LUDRUK JAWA TIMUR TAHUN 2013 di Hotel Utami Surabaya, tanggal 7-8 Pebruari 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar