LUDRUK ENAKE DIAPAKNO REK? (1)


Oleh : Cak Edy Karya (Pimpinan Ludruk Karya Budaya Mojokerto)

Saya percaya kita semua sadar bahwa keberadaan kita (ludruk) saat ini mengalami kemerosotan yang cukup tajam, baik dalam segi kualitas pementasan, frekuensi pertunjukan, maupun masyarakat penikmatnya. Ludruk dalam pengamatan cenderung bermain asal-asalan, tanpa memperhatikan segi acting, bloking, apalagi segi artistik yang sering kali lepas dari kontrol. Ini mungkin yang menjadi penyebab merosotnya minat para penanggap maupun berkurangnya sedikit demi sedikit para pelanggannya.
Hal tersebut di atas mulai dirasakan sejak memasuki abad 19, sekitar tahun 1990 ke atas. Kalau boleh kami menyampaikan,saat itu mulai terjadi lunturnya kegiatan tobongan yang memiliki manfaat sangat besar bagi perkembangan ludruk terutama aktifitas nyebeng, sepel dan tedean. Ketika waktu senggang siang hari, karena hampir semua pemain tidak pulang dan tidur di tobongan, kesempatan itu dimanfaatkan para seniman ludruk untuk melangsungkan aktifitas belajar remo, ngidung, catur (dialog), dan akting kepada seniornya. Malam harinya, menonton langsung seniornya pentas. Pada saat yang lain, ketika dirasa cukup mampu, maka diberi kesempatan mementaskan di atas pangung.
Ironisnya, sekarang di jaman yang serba instan ini, ludruk ikut-ikutan instan. Jarang sekali dan hampir tidak ada kelompok ludruk yang mengumpulkan anggotanya untuk belajar bersama  tentang hal-hal yang kami sebutkan di atas. Kelompok ludruk hampir tidak memiliki anggota tetap. Pemainnya comotan. Bagaimana bisa belajar dengan baik, apalagi turut andarbeni, jika niatanya hanya bekerja (cari uang). Hal seperti inilah yang mengakibatkan lunturnya nilai berkesenian, utamanya dalam ludruk.
Para pemimpin di lapangan juga sering berebut pemain handal. Ini yang membuat beberapa pemain yang merasa handal sering bikin ulah dan jual mahal. Kenyataan saat ini stok pemain yang mumpuni jumlahnya minim sekali.
Hal-hal yang saya sampikan diatas terus berlangsung dan berangsur-angsur berjalan. Tanpa disadari para insan ludruk yang seharusnya berkompetisi dengan kesenian lain yang terus-menerus melakukan upaya peningakatan  dan perkembangan serta mengasah kemampuannya. Dalam situasi seperti ini, jaman hanya membutuhkan manusia-manusia unggul (menguasai IT, memiliki life skill, dan kearifan lokal). Seniman ludruk, utamanya juragan ludruk, seharusnya harus tolah-toleh (menoleh dan memperhatikan) ; ke kiri ada TEATER, dimana kita bisa belajar akting ,bloking, penyutradaraan dan artistik. Menoleh ke kanan ada TARI. Dari situ kita bisa belajar koreografi, pengembangan dan modifikasi tari remo, baik kualitas tari remo putra, maupun putri. Menoleh ke belakang ada SASTRA. Kita bisa belajar juga sehingga lirak-lirik kidungan selalu update untuk disuguhkan kepada penonton. Menatap ke depan, ada IT (Informasi dan Teknologi). Kita bisa belajar,baik dalam hal meningkatkan tata panggung, maupun manajemen, utamanya kehumasan (facebook, e-mail, blog, dan website).
Apa yang kami sampaikan di atas memang sulit dilakukan kelompok ludruk. Namun kalau kita mau bekerja sama dengan pihak lain, itu barang mudah. Rupanya tenaga –tenaga kreatif dari luar mutlak diperlukan adanya, dan langkah ini mulai kami rintis di Ludruk Karya Budaya. Untuk teater kami dibantu mbak Mijil Pawestri, S.Sn (Sarjana teater ISI Yogyakarta). Untuk tari kami di bantu Cak Sunawan S.Sn (Sarjan tari STKW Surabaya). Untuk IT kami dibantu mas Jabbar Abdullah,S.Hi. Semuanya ini sudah kami buktikan di beberapa pementasan.Alkhamdulillah mendapat respon yang cukup baik dari apresiator. Antara lain pentas lakon Sakerah, Raden Said yang dipentaskan di gedung cak Durasim (Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya), dan lakon Maling Caluring di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, 5 Mei 2013 yang lalu. Hasil garapan tari remo kami juga tersuguh di gedung Cak Durasim dan TMII. Produk lainnya, tari Solah Kemuning dan Mayang Rontek. Untuk IT bisa anda lacak (browsing) di internet (blog, website dan facebook).
Secara kebetulan saya sering ditugaskan oleh UPT Taman Budaya Jawa Timur untuk mengevaluasi pentas ludruk periodik di Taman Krida Budaya Malang,atau menjadi pengamat di beberapa festival ludruk.Dalam pengamatan saya,banyak hal-hal yang perlu menjadi perhatian kelompok ludruk,antara lain:
1.    Kostum
ü Dalam penggunaan kostum sering tidak konsisten. Atau sutradara tidak faham. Kostum yang dikenakan tidak sesuai dengan situasi cerita yang dipentaskan.
ü Background panggung juga perlu diperhatikan. Jika warna hitam maka kostum warna hitam dihindari.
ü Karakteristik kedaerahan juga banyak belum diperhatikan. Batik-batik khas Jawa Tengah / Jogja masih mendominasi. Misalnya kain batik dodotan remo. Baiknya memakai batik khas Jawa Timuran, atau Madura, Parang, dll.
2.    Properti/Artistik
Disamping tenaga artistik/properti (jumlahnya minimal 1 orang), jarang menyiapakan dari rumah kebutuhan properti untuk beberapa adegan yang lokasi dan situasinya berbeda (rumah keluarga kaya,warung).
3.    Latihan/Pendampingan
Merupakan kesepakatan dengan apa yang akan dipentaskan. Pembenahan hanya pada apa yang dievaluasi oleh pendamping, bukan dirombak total.
Contoh : Saat latihan remo 1 orang, saat pentas jangan menghadirkan 2 peremo. Termasuk pemain yang sudah tercasing, jangan dirubah lagi kecuali tidak hadir atau sakit. Ketika latihan , bedayan jumlahnya 8 orang. Ketika pentas menjadi 16 orang,dll.
4.    Koor
Diupayakan local genius atau khas kelompok ludruk tersebut. Bukan ludruk Probolinggo koornya Surabaya.
5.    Tari Remo
Porsi kidungan jangan terlalu panjang. Cukup sekali 2-4 gong. Tunjukan gerakan keindahan tarinya, termasuk pola lantai (kalau lebih dari 1, gerakannya jelas sama)
6.    Lawak
Tidak telalu panjang tetapi mengena. Karena situasinya mendekati formal, maka kurangi materi pornonya/ceremetan. Tidak perlu angger oleh ngguyu. Lawak bukan sekedar untuk mencari tawa penonton.
7.    Penyutradaraan
Keterkaitan antara judul, sinopsis dan jalan ceritanya. Hilangkan adegan-adegan yang hanya buang-buang waktu. Mengingat durasi pementasan yang pendek (2,5 jam).
8.     Pemain
Pemilihan pemain pendukung yang tepat. Sesuai peranan (porsi) contoh : pemuda diperankan oleh pemain yang berusia muda,dll.

(Ditulis ulang sesuai dengan aslinya, materi ini disampaikan oleh Cak Edy Karya Pimpinan Ludruk Karya Budaya Mojokerto dalam acara Jagongan Budaya #6 dengan tema : “LUDRUK ENAK’E DIAPAKNO REK?” pada hari Sabtu, 25 Mei 2013 pukul 13.30 WIB di Aula Kantor Radar Mojokerto, Jl. RA. Basuni No. 96, Sooko, kabupaten Mojokerto)

1 komentar:

  1. Sekadar urun rembug, sebaiknya juga dimulai pertunjukan ludruk ringkas, semacam pakeliran padat untuk wayang kulit. Caranya, meminimalisir jumlah pemain, tetapi maksimal fungsi peran.

    Saya berada di luar Jawa, dan beberapa kali berkeinginan mengundang ludruk untuk tampil pada momentum harlah organisasi kedaerahan. Biasanya, berpikir ulang lantaran jumlah pemain yang relatif banyak.

    Mungkin, sudah saatnya konsep ludruk ringkas mulai menjadi alternatif.

    Mohon maaf, sekadar urun saran.

    BalasHapus