KETIBAN GAYOR


Oleh : TRI JUONO S.


Suatu sore Pak Yanto sedang menyapu di rumahnya ketika datang Bu Wanti, istrinya. Dengan santai Bu Wanti melepas sandal yang dikenakannya dan duduk santai di kursi. Dengan seenaknya Bu Wanti membentak suaminya karena dianggap kerjanya lamban. Tidak berapa lama kemudian datang Santi, anaknya dari sekolah. Setelah mencium tangan kedua orang tuanya, Santi masuk ke dalam rumah.
Bu Wanti kemudian meminta Pak Yanto untuk duduk, kemudian mengutarakan niatnya untuk mengikuti seleksi kepala dusun. Namun Pak Yanto tidak menyetujuinya dengan alasan tugas seorang kepala dusun berat, dia takut istrinya akan kewalahan menjalankan tugas jika nantinya menjadi kepala dusun. Lagipula mekanisme perekrutan melalui ujian. Tentu banyak saingan dari kalangan terpelajar dan berpendidikan lebih tinggi. Mendengar penuturan suaminya, Bu Wanti marah. Dia mengatakan jika berhasil menjadi kepala dusun akan memiliki kekuasaan yang luas. Bu Wanti mencibir, jabatan suaminya yang hanya ketua RT membuatnya tidak memiliki kekuasaan. Terlebih pekerjaan suaminya sebagai PNS segera berakhir, tentu penghasilan berkurang, jika berhasil menjadi kepala dusun tentu bisa memperoleh penghasilan lebih. Mengenai ujian seleksi, Bu Wanti berpendapat nilai bisa dimanipulasi oleh uang. Akhirnya Pak Yanto menyetujui niat istrinya.
Sementara itu di rumah Pak Purwanto, kepala desa. Tampak Pak Purwanto sedang bercengkerama dengan Bu Endang, istrinya. Mereka membahas tentang persiapan seleksi perangkat desa baru untuk menggantikan perangkat desa yang purna tugas. Bu Endang merasa takut, walaupun mekanismenya menggunakan ujian, masyarakat luas tetap menganggap proses seleksi masih sarat dengan kolusi dan nepotisme. Bu Endang berharap, suaminya sebagai kepala desa arif dalam melaksanakan proses seleksi. Dan tidak terpengaruh dengan iming-iming apapun dari para calon. Beliau menginginkan seleksi dilaksanakan secara bersih, dan posisi perangkat desa diisi oleh orang yang benar-benar memiliki kemampuan. Pak Purwantopun membenarkan ucapan istrinya.
Beberapa saat kemudian datang Bu Wanti ke rumahnya, dan mengutarakan niatnya untuk mengikuti seleksi kepala dusun, dan dia meminta Pak Purwanto untuk membantunya dengan cara memberikan nilai yang tinggi kepadanya, sehingga dia bisa menjadi kepala dusun. Menanggapi permintaan Bu Wanti, Pak Purwanto menjawab jika mekanisme ujian tidak dapat diatur. Semua tergantung dari usaha dan kemampuan masing-masing calon.
Mendengar jawaban Pak Purwanto, Bu Wanti marah, dia mengancam akan mencopot Pak Purwanto dari jabatan kepala desa jika tidak bersedia memenuhi keinginannya, karena dia dekat dengan bupati, menurutnya hal tersebut mudah untuk dilakukannya. Setelah itu Bu Wanti meninggalkan rumah Pak Purwanto.
Pak Purwanto dilanda kebimbangan, karena mengetahui kemampuan Bu Wanti, dia tidak akan dapat bekerja jika benar-benar menjadi kepala dusun, namun Pak Purwanto juga takut jika Bu Wanti melaksanakan ancamannya.
--ooOoo--
Kesedihan melanda keluarga Bu Suciati, karena cucunya yang masih bayi sedang sakit keras. Bayi itu hanya dapat menangis di gendongan Dini, ibunya. Mereka bingung mencari biaya pengobatan, sedangkan suami Dini sedang bekerja di luar kota. Tak lama datang Diki, anak sulung dari Bu Suciati. Diki kemudian mengatakan akan berusaha mencari bantuan ke rumah Bu Wanti yang sudah menjadi kepala dusun.
Sesampainya di Rumah Bu Wanti, Diki ditemui oleh Pak Yanto. Mendengar niatan Diki datang ke ruamahnya, Pak Yanto kemudian memanggil istrinya kemudian ikut duduk bersama, namun diminta pergi oleh Bu Wanti untuk mengangkat jemuran.
Diki mengutarakan niatnya untuk meminta dibuatkan surat miskin untuk berobat keponakannya yang sakit keras, juga meminta tolong Bu Wanti untuk meminjamkan mobil digunakan untuk mengantar ke rumah sakit. Bu Wanti menyanggupinya dan meminta Diki pulang untuk menyiapkan keberangkatan ke rumah sakit.
Sepeninggal diki, wajah Bu Wanti tampak cerah, dia bergumam, setelah menjadi kepala dusun dia memiliki kekuasaan. Dia berfikir, untuk pertama memenuhi permintaan warga, setelah warga memiliki rasa hutang budi, dia dengan mudah dapat mengatur warga seperti boneka.
--ooOoo--
Bu Suciati dan Dini gembira, karena cucu Bu Suciati sudah sembuh dan pulang dari rumah sakit. Belum selesai mereka meluapka kegembiraan, datang Bu Wanti ke rumahnya. Dengan hormat Bu Suciati dan Dini menyambut dan mengucapkan terima kasih. Namun ucapan terima kasih tersebut ditanggapi dingin, Bu Wanti mengatakan pertolongannya tidak gratis, Bu Suciati harus mengganti biaya yang telah dikeluarkannya. Betapa terkejut Bu Suciati mendengar penuturan Bu Wanti, terlebih biaya yang diminta teramat besar. Padahal Bu Suciati merasa biaya yang dikeluarkan tidak seberapa besar, karena untuk pengobatan telah ditanggung pemerintah melalui surat miskin yang dibuatnya.
Dengan marah Bu Wanti mengumpat Bu Suciati, dia mengatakan bahwa surat miskin dapat diterima karena dia yang mengusahakan, selain itu untuk ke rumah sakit juga menggunakan kendaraan miliknya. Sudah menjadi keharusan Bu Suciati untuk menggantinya. Bahkan dengan kasar Bu Wanti mengatakan dia telah memberikan kehidupan kepada cucu Bu Suciati, jika bukan karenanya, mungkin cucu Bu Suciati sudah meninggal.
Sebelum meninggalkan rumah Bu Suciati, Bu Wanti mengancam jika tidak segera dibayar, hutangnya akan berbunga semakin besar. Begitu terpukul hati Bu Suciati dan Dini, sehingga membuat mereka menangis. Hal itu membuat Diki yang baru pulang merasa heran.
Diki tersulut emosinya mendengar cerita dari ibu dan adiknya, dia bergegas kembali keluar untuk ke rumah Bu Wanti untuk membuat perhitungan. Di perjalanan, Diki bertemu dengan dua temannya, Wasono dan Agus. Mendengar penuturan Diki, Wasono menyarankan agar Diki membalas dengan halus untuk menyakiti hati Bu Wanti. Agus menyarankan agar Diki mendekati Santi, anak Bu Wanti, tentu Bu Wanti akan terpancing emosinya karena orang yang gila harta seperti Bu Wantio tidak akan terima jika anaknya dekat dengan seorang yang miskin. Setelah berfikir, Diki menyetujui saran kedua temannya.
--ooOoo--
Lima bualn kemudian, tampak kegundahan tergurat diwajah Santi. Dia telah melakukan hubungan yang terlalu jauh hingga hamil dengan kekasih hatinya, Diki. Dia khawatir ibunya akan marah mengetahui dia hamil, terlebih dia hamil karena perbuatan seorang yang miskin.
Sementara itu Bu Wanti heran melihat perubahan sikap anaknya. Dia berusaha membujuk anaknya untuk menceritakan masalh yang dialami, namun Santi hanya terdiam, merasa kehabisan akal Bu Wanti memanggil Pak Yanto untuk membujuk agar Santi menceritakan masalahnya.
Betapa terkejut Pak Yanto dan Bu Wanti mendengar pengakuan yang diberikan dengan rasa takut oleh Santi, dengan emosi, Bu Wanti meminta suaminya untuk memanggil Diki kerumahnya. Setelah Diki datang bu Wanti tidak dapat lagi membendung emosinya, namun Diki selau berkelit dari tangan Bu Wanti yang hendak memukulnya sehingga membuat Bu Wanti semakin marah, dengan kalap Bu Wanti meraih gunting yang ada di meja dan berusaha menusuk Diki. Namun betapa terkejut Bu Wanti karena usahanya dihalangi oleh Santi sehingga tikamannya mengenai anaknya sendiri. Bu Wanti menangis histeris. Tidak lama kemudian datang Wasono dan Agus beserta Pak Hadi, sekdes. Karena sebelumnya Wasono dan Agus mengetahui Diki dipanggil ke rumah Bu Wanti tentu ada masalah, sehinga mereka berinisiatif membantu temannya dengan mengajak sekdes.
Semua terkejut melihat Santi tergeletak, dengan terbata-bata dia mengatakan jika dia sangat mencintai Diki dan tidak ingin dipisahkan. Dia lebih rela mati daripada harus dipisahkan dari Diki, kekasihya. Semuapun berusah menolong Santi tetapi dihalangi Bu Wanti, dengan tertawa dia mengatakan jika terjadi apa-apa dengan anaknya. Semuanya terkejut, karena melihat gelagat, tampak Bu Wanti seperti orang gila. Akhirnya dengan memaksa mereka menangkap Bu Wanti dan menolong Santi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar