LUDRUK ENAKE DIAPAKNO REK? (2)


Oleh : Imama CB

Nek aku ditakoni koyo’ ngunu, tak jawab : Ludruk kudu di mBoisno!, eling-eling sa’iki akeh wong sing ngarani Ludruk wis gak jamane, kuno, ndesani, gak mBois! Opo maneh arek nom-noman, ojo maneh diarani arek Ludruk, dijak ngomong Ludruk ae rumongso “turun gengsi”. Sebagian maneh pah-poh gak ngerti opo-opo.

Iki op sing salah, sopo sing kudu disalahno. Nek sampek onok satu generasi sing gak ngerti Ludruk iku opo? Padahal arek kene – Jawa Timur . ini kayaknya ada salah komunikasi antar generasi yang putus, ada bahasa yang tidak nyambung, tanpa disadari adanya tataran budaya yang berbeda, tradisi berfikir yang tidak selaras dengan generasi terhadap generasi berikutnya. Enek sing kepaten obor.

Itu memang sangat dirasakan oleh hamper semua kesenian/pertunjukan tradisi khususnya. Terlebih kesenian yang bertumpu pada kekuatan sastra. Seperti kita tahu dongeng dan kentrung barangkali contoh kasus paling kronis, kalau belum pantas diangap mati. Ludurk barangkali masih tertolong oleh keberagaman estetika yang lain, unsure visual misalnya : keberagaman aneka warna dan tingkah travesty dan wayang lakonnya kadang masih sanggup memenuhi dahaga mata akan estetika. Unsure bunyi : iringan gamelan dan jula-juli dalam ludruk jelas lebih yahut disbanding kentrung dan dongeng yang kadang hana monolog garingan. Tapi kenyataan saat ini, ludruk terpingirkan oleh jaman. Mekanisme suksesi praktisi ludruk nyaris tidak ada, kaderisasi buntu. Cekak cingkrange : ludruk tidak diminati kalangan generasi penerus. Kalau kita tidak segera sadardiri dan berbenah, jangan-jangan ludruk bias bernasib seperti kentrung dan dongeng di atas. Seperti menggali lubang kubur sendiri, kecuali nek sing tuwo-tuwo gak duwe rencana mati. Padahal ditilik dari sejarahnya, ludurk sebagai ‘teater rakyat’ Jawa Timur lahir dari kalangan rakyat agraris, terus berkembang dan survival hamper di segala jaman. Bahkan ludruk dianggap sebagai ritus penanda symbol peradaban modern. Ludruk sebagai seni pertunjukan lakon, drama, atau sandiwara yang paling mBois pada jamannya. Karena ludruklah yang pertama  kali memperkenalkan seni pertunjukan model presenium di akhir era (ludruk) besut. Kenapa sekarang ludruk dianggap kesenian yang gak mBois, kuno, ketinggalan jaman?

Ludruk yang lahir dari pelosok desa di Jombang terus berkembang ke tengah sampai di Surabaya, lalu menyebar ke Sidoarjo, Gresik, Pasuruan, Malang, Kediri, Jember sampai ke Madura kemudian disebut sandhur. Bahkan beberapa decade sempat moncer di Jakarta. Justru karena kehebatannya sebagai media penyampai informasi, ludruk harus mengalami trauma (politis) dibrangus dalam peristiwa 1965. Lalu karena kehebatannya pula kemudian ludruk dikudang-kudang supaya bangkit kembali tapi masih dininabobokkan selama orde baru. Sebelum menjamurnya budya televisi, tobong ludruk pernah mengalami masa keemasan, kemudian mungsret-mungsret semakin memprihatinkan seperti sekarang ini. Mudah-mudahan ini hanya siklus biasa, bukan anti klimaks. Semoga masih ada puncak yang bias ditemui lagi. Bagaimana ludruk bias kembali mBois di mata penonton (muda)nya. Pelaku ludruk harus berfikir mBois tindak mandeg sebagai pekerja (buruh) seni. Praktisi ludruk harus berwawasan seniman ludruk. Bagaimana kita memodifikasi eksotika ludruk supaya pas dan sesuai dengan kehendak jamannya, dengan tetap menjaga keluhuran dan esensi ludruk sebagai teater yang berkarakter kerakyatan Jawa Timur.

Sebagai tokoh perjuangan pergerakan kebangsaan nasionalisme saat itu (1930-an) Dr. Soetomo bahkan memberikan anugerah penghargaan kepada Cak Gondo Durasim karena pementasan-pementasan ludruknya bisa jadi inspirasi pergerakan pejuang nasionalisme. Selain menghibur, ludruk (Durasim) dianggap mampu menagkap aspirasi dan mewakili rasa perlawanan masyarakat terhadap penindasan pengusa. Efektif menggelorakan semangat dan menyampaikan pesa-pesan persiapan kemerdekaan.
Mulai sekarang kita berhenti mengeluh, kita harus berhenti menyerah, kita harus bisa menghadapi kenyataan seperti sekarang ini. Bahwa televise sudah hadir di hampir semua rumah, bahkan mungkin hampir di semua kamar kita. Informasi, berita atau hiburan apa saja tinggal pilih, cukup dengan ujung jari. Kta jangan hanya merasa ketinggalan, tapi harus berusaha mengejar. Kalau bisa mensejajari jaman. Kalau toh masih tertingal, jangan terlalu senjang.

Bagaimana Cak Durasim DKK yang notabene belum mengenal Sarjana, opomaneh S2, S3, gak ngerti google, BBM, facebook, twitter, internet. Mereka bisa jadi inspirator perjuangan berdirinya republik ini. Bagaimana kecerdasan orang ludruk pada waktu itu dengan syair-syair, lakon-lakon yang diciptakan bisa menjadi motivator pergerakan kemerdekaan. Lalu muncul jawaban klise : jaman sudah berubah, kalau kita sadar jaman sudah berubah, kenapa lakon-lakon ludruk kita, dialog, paes, dan pakaian tidak berubah?. Kenapa pari’an, paribasan, srekalan dan sanepan tidak berkembang.
Sing penting bayaran! Sing penting tanggapan (rame)!. Pokoke paes, pokoke ngeteks, pokoke main, pokoke diguyu. Tapi pernahkah kita berfikir tentang tanggungjawab dibalik semua itu? Pernahkah kita berfikir lebih dari sekedar pokoke? Semoga kita segera bangun dari tidur panjang ini. Kalau kita mau, kita bisa. Nek wis duwe niat ayo berbuat.

(Ditulis ulang dan diedit seperlunya sesuai dengan aslinya, materi ini disampaikan oleh Cak Imam CB dalam acara Jagongan Budaya #6 dengan tema : “LUDRUK ENAK’E DIAPAKNO REK?” pada hari Sabtu, 25 Mei 2013 pukul 13.30 WIB di Aula Kantor Radar Mojokerto, Jl. RA. Basuni No. 96, Sooko, kabupaten Mojokerto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar