REMO BOLETAN




Setiap daerah di Jawa Timur mempunyai bentuk kesenian daerah yang dapat menjadi ciri khas suatu daerah. Demikian halnya dengan Kabupaten Jombang, di mana para pemerhati maupun pelaku seni sangat mengenal Jombang dengan kesenian ludruknya. Bahkan bagi masyarakat Jombang juga mafhum kalau cikal-bakal besutan berasal dari Jombang. Hanya saja dibutuhkan sebuah upaya pembuktian secara tertulis bahwa ludruk berawal dari Kota Santri ini. Kenapa hal tersebut harus ditelusuri? Jangan sampai apa yang telah kita miliki diambil oleh orang lain, karena sudah sejak dahulu sampai sekarang para pemain ludruk telah malang melintang menembus batas sebagai seniman tobong atau ludruk gedhong dan menyebar di berbagai wilayah di Jawa Timur.
Dalam sajian sandiwara ludruk selama ini masih dijumpai ciri khas pementasan yang berbeda dengan kesenian lain, yaitu Tari Remo Gaya Putri dan Tari Remo Gaya Pria sebagai pembuka, Bedhayan, Lawak dan Cerita. Rangkaian pementasan tersebut sudah barang tentu menjadikan identitas pertunjukan ludruk, namun berbeda halnya dengan salah satu jenis pementasan ludruk yang ada di Jombang pada sekitar tahun 1970-an, yaitu Tari Remogaya prianya disebut Gaya Jombangan atau “Tari Remo Boletan”.
Karya tari monumental ini disebut Tari Remo Boletan, karena yang menciptakan tarian tersebut adalah seniman ludruk bernama Sastro Bolet Amenan yang lahir di Tawangsari Tahun 1942. Ia menciptakan Tari Remo Gaya Jombangan yang memiliki karakter gerakan yang santai, tegas dan kuat, karena bertemakan perjuangan sebagai pembangkit dan pengobar semangat untuk melawan penindasan terhadap rakyat.
Di sisi lain tarian ini diciptakan dengan tujuan memberikan suri-tauladan serta dedikasi terhadap khalayak, khususnya bagi generasi muda tentang bagaimana bersikap lembut dan tegas. Ungkapan orang Jawa: ya kendho kenceng, mulur mungkret. Artinya, melihat situasi kondisi yang berlaku namun tetap dalam kepastian kata dan tindakan. Menurut Pak Muji, salah satu seniman yang berguru kepada Pak Bolet Amenan dari panggung ke panggung, bahwa hal yang menjadi ciri boletan sehingga berbeda dengan tari remo gaya Surabayan dan Malangan adalah gerak tariannya tersebut mengadopsi gerak pencak, kuda lumping, dan warok reog Ponorogo.
Teknik yang dimunculkannya menggunakan gerak gecul (lucu) dan sering berjalan layaknya orang tua. serta merakukan dialog dengan pengendang. Selendang warna Hijau (Ijo) dan Merah (Abang), dengan lazim masyarakat menyingkat dengan sebutan nama Jombang, memakai ikat kepala seperti udheng-nya orang Bali.
Perbedaan lain adalah cara ia menyampaikan kidungan beserta parikan-nya, seperti: Nek nang Jombang mampira Sengon, lemah geneng akeh wedhine. Dada gak sambang nek kirima ingon, nek gak seneng apa mesthine. Dan masih banyak lagi parikan yang diciptakan Pak Bolet Amenan. Sewaktu hidupnya ia begitu kreatif dan inovatif, terbukti dari beberapa pementasan ia selalu merubah parikannya. Kenapa parikannya selalu ia upayakan berubah-ubah? Karena sebelum pementasan ia menyempatkan diri mendatangi dusun-dusun maupun desa-desa yang dekat dengan tempat pentas ludruk yang diikutinya dan bertanya kepada warga setempat perihal apa saja persoalan atau kebiasaan yang dilakukan mereka lalu digunakannya sebagai bahan kidungan di kala pentas. Alhasil banyak orang terkejut ketika Pak Bolet menyuarakan apa yang dialami masyarakat waktu itu dalam pertunjukannya. Demikianlah tutur Pak Muji.
Bukan hanya masyarakat Jombang yang mengenal pemain yang serba bisa ini, tetapi juga masyarakat Jawa Timur, khususnya yang tinggal di dese-desa. Bolet telah berkeliling njajah desa milang kori sehingga ia hidup di hati orang banyak sejak tahun 1970-an. Dari sekian hal tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa tari remo ciptaan Pak Bolet berbeda dengan tari remo gaya yang lain, walaupun ada upaya untuk menciptakan tari remo Gaya Mojokertoan yang dilakukan oleh Ali Markasa, si peremo asal Jombang. Namun bagi kalangan seniman dan pemerhati ludruk, bahwa gaya tersebut belum layak disejajarkan dengan gaya terdahulu. Karena remo kreasi Ali Markasa masih banyak diwarnai gaya Jombangan. Begitulah cerita Drs. Eko Edy J. Susanto, M.Si, pemerhati yang pernah menulis tesis tentang manajemen ludruk sekaligus pimpinan ludruk Karya Budaya dari Jetis, Mojokerto.
Menurut Nasrul Ilahi, seorang pengamat seni dan budayawan Jombang, Boletan merupakan karya tari yang ekspresif dan inovatif. Wiraga, wirama dan wirasa yang disuguhkan dalam Ngremo Pak Bolet merupakan pancaran jiwanya. Seperti karya “Potret Diri” sang pelukis maestro Affandi, yang tidak pernah saran hasil lukisannya, dan itu bergantung pada suasana jiwanya. Maka remo Pak Bolet dapat dikatakan lebih dari itu. “Karya ‘Potret Diri’ Affandi merupakan karya individual. Sedangkan remo Pak Bolet merupakan karya kolektif, yang dalam melahirkannya membutuhkan kerjasama dan interaksi dengan unsur maupun pendukung lain,” kata Nasrul.
Pak Bolet memang bisa dibilang cukup menguasai dasar-dasar tari remo. Tari remonya memiliki gerakan lucu dengan tetarian yang tegas. Bisa jadi hal ini merupakan pengaruh dirinya adalah juga pelawak. Dalam keikutsertaannya sebagai pelawak pada suatu kelompok ludruk, ia lebih dikenal dengan nama Bolet. Mulanya, di suatu malam, ketika ia mengikuti Ludruk Arum Dalu manggung, ada penari remo dari ludruk ini yang tidak datang. Sehingga, dengan sangat terpaksa, Pak Bolet diminta untuk menggantikannya. Sementara, Ludruk Arum Dalu, tidak punya cadangan peremo yang handal.
“Dasar pelawak, ketika ngremopun tetap nglawak. Pak Bolet naik pentas dengan gaya ngglembosi (malas-malasan) dan tanpa baju, tentu saja mengundang gelak tawa penonton. Sebab, belum pernah ada peremo lain yang semacam itu,” ujar Asmuni, tokoh Srimulat. Bolet tetap melanjutkan ngremonya antara lupa dan ingat, namun ngremo dengan mantap tanpa mengabaikan dasar-dasar remo yang dimilikinya. Sejak saat itu, Ngremo Gaya Boletan lahir dengan kreasi inovatifnya dan muncullah Ngremo Jombangan yang di kemudian waktu menjadi sangat monumental.
Pak Bolet meninggal di usia 34 tahun, pada 15 Agustus 1976, dan dimakamkan di Tawangsari. Ia merupakan salah satu seniman yang turut mengharumkan nama Jombang bahkan Jawa Timur dengan kreasi remonya tersebut. Sebelum tahun 1965, seniman ini menjadi anggota Ludruk Gaya Baru. Setelah tahun 1968, ia menjadi pelawak dan peremo yang menghadirkan wacana kebebasan dan mewadahi berbagai bentuk kesenian yang ada di Jombang menjadi satu pertunjukan utuh. Prestasi yang dicapai antara lain pada tahun 1971, ia memeroleh juara I Lomba Tari Remo se Jawa Timur, setelah setahun sebelumnya menjadi Juara III tingkat Kabupaten Jombang.
Karya remo Pak Bolet memang patut dihargai. Karena itu, pada tahun 2007, ia mendapatkan penghargaan dari Gubernur Jawa Timur, tandas Drs. H.M. Arifin, MM., mantan Kepala Kantor Parbupora Jombang dan pengamat seni. Jejak Pak Bolet terus dinapak-tilasi para seniman tari maupun ludruk lainnya. Hal tersebut dapat dibuktikan ketika diselenggarakan Lomba Tari Remo se-Jawa Timur pada tahun 2004, terdapat 8 peremo ludruk Jombang yang masuk dalam 10 besar, dan 3 diantaranya meraih Juara I, II, dan III. Mungkin saja Jombang tidak kekurangan peremo yang handal, baik dari kalangan ludruk maupun dari sanggar seni tari. Namun kalau mencari yang sekualitas Pak Bolet masih sangat susah.
Ngremo Pak Bolet begitu ekspresif, dinamis, dan kreatif. Ia memiliki spontanitas tinggi. Kalau potensi peremo tidak tergarap, maka yang terjadi hanyalah bentuk karya seni yang biasa-biasa saja. Jangan sampai setengah-setengah atau dengan kata lain cukup merasa puas dengan apa yang kita raih selama ini, namun perlu kiranya mengetahui dan mempelajari bagaimana serta kenapa karya Pak Bolet menjadi sebuah karya tari yang monumental dan berciri khas nilai-nilai kedaerahan. Moerbangun, salah seorang putra almarhum Pak Bolet, menyampaikan terima kasih atas penghargaan dan perhatian terhadap seniman lokal seperti ayahnya. “Sebagai anaknya, kami sangat senang dan bangga dengan karya beliau yang sampai sekarang masih diperhatikan serta digandrungi oleh banyak pihak. Mudah-mudahan di masa depan lahir seniman-seniman sekaliber Pak Bolet bahkan lebih dari apa yang telah dilakukan oleh Bapak untuk lingkungannya, terlebih bagi Jombang,” ujar Moerbangun suatu hari.
Dalam kehidupan yang penuh suka duka dalam bidangnya, Pak Bolet Amenan dikaruniai tiga orang anak, dua anak lainnya adalah Sri Rakyati dan Marheni. Ia meninggalkan kepada anak cucunya remo boletan sebagai cermin seni budaya Jombang yang kreatif
(diambil dari : http://jawatimuran.wordpress.com/2012/02/23/remo-boletan/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar